Halaman

Rabu, Maret 14, 2012

Pengaruh Filsafat Imam Al-Ghazali

Akibat serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat sebelumnya, meski tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat muslim terhadap filsafat menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kelesuan berfikir dan berijtihad di kalangan umat Islam. Sejak pertengahan abad ke 12 M, hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan. Meski demikian, kajian dan pemikiran filasafat, sesungguhnya tidak benar benar hilang oleh serangan al-Ghazali, filsafat Islam tetap berkembang. Apa yang dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian orang hanya terjadi di kalangan sunni, khususnya Asy’ariyah. Pada bagian lain di dunia Islam, filsafat justru menemukan arah baru dan semakin membumbung tinggi.

Mengenai serangan al-Ghazali terhadap filsafat, ada beberapa hal yang patut dicermati, yaitu:

  1. Bahwa ia sesungguhnya hanya menyerang persoalan metafisik, khususnya metafisika al-Farabi dan Ibnu Sina yang neo platonisme, tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. Sebab, di bagian lain al-Ghozali tetap mengakui pentingnya logika atau epistemologi dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan dalam al-Mustashfa fi ulum al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani untuk melendingkan doktrin dan gagasannya.
  2. Bahwa tuduhan al-Ghazali terhadap doktrin al-Farabi dan Ibn Sina adalah tidak tepat. Dalam tulisannya, al-Ghazali menilai bahwa ajaran al-Farabi dan Ibn Sina, juga para filosof lain yang senada, telah jatuh dalam kekufuran, karena mengajarkan tentang keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (juziyat). Padahal, kedua tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis seperti yang dituduhkan. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksudkan dengan qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa yang disebut sebagai “waktu” atau “zaman” muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filosof, dan keqadiman alam ini tetap tidak sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadim bi dzatihi, qadim dengan diriNya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Di sini telah terjadi salah faham atau perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang digunakan antara al-Ghazali dengan para filosof (sebelumnya).
  3. Tentang penilaian al-Ghazali pada al-Farabi dan Ibn Sina dalam kaitannya dengan Aristoteles. Dalam al-Munqid, al-Ghazali membagi filsafat Yunani dalam tiga bagian; materialisme (dahriyun), natrualisme (thabiiyyun) dan theisme (ilahiyyun). Kelompok materialisme adalah mereka yang mengingkari Sang Pencipta (Tuhan) seraya menyatakan bahwa semesta wujud dengan sendirinya. Golongan ini dianggap sebagai tidak beragama. Ini mungkin ditunjukkan pada para filosof Yunani purba. Golongan naturalisme adalah mereka yang meyakini kekuatan material dan bahwa apa yang telah mati tidak akan kembali, sehingga tidak ada hari kebangkitan dan pembalasan. Ini ditujukan pada tokoh seperti Demokritos dan para filosof Ionia yang hanya meyakini eksistensi material. Kelompok theisme adalah para filosof yang lebih modern yang meyakini Sang Pencipta, seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan menurut al-Ghazali al-Farabi serta Ibn Sina sebagai pengikutnya.
  4. Dalam kitab “ Tarikh Falasifah Al Islam fil Masyriq wal Maghrib“ Muhammad Luthfi mengemukakan: “Sesungguhnya sebagian ahli filsafat, seperti Ibnu Rusyd tidaklah yakin kalau al-Ghazali serius dalam kritikannya, sesungguhnya perbedaan antara dia dan para filsafat hanyalah pada batas-batas tertentu, sesungguhnya dia mencela mereka dalam ha-hal tertentu hanya untuk memperkuat ahli sunnah. Musa bin Narbur menyebutkan: Sesungguhnya setelah menulis kitab At Tahafut, al-Ghazali kemudian menulis risalah kecil yang hanya diketahui oleh orang-orang dekat saja, yang berisi penolakan kepada apa yang dikemukakan mengenai kritikan kepada dasar-dasar filsafat.

    Kitab tersebut adalah: ﺔﻟﺎﺳﺭ
    ﺎﻬﻌﺿﻭ
    ﻮﺑﺃﺪﻣﺎﺣ
    ﺪﻌﺑﺖﻓﺎﻬّﺘﻟﺍ
    ﻒﺸﻜﻴﻟﻦﻋﻩﺮﻜﻓ
    ﺀﺎﻤﻜﺤﻠﻟ
    ﺎﻬﻴﻓﻭﺪﺻﺎﻘﻣ
    ﺪﺻﺎﻘﻤﻟﺍ
    ﺐﻴﺒﻠﻟﺍﻭﺔﻴﻔﻜﺗ
    .ﺓﺭﺎﺷﻹﺍ
    “. Kitab ini berisi pembahasan yang sangat penting tetapi bahasanya sulit di pahami oleh masyarakat umum, dimulai dengan membahas planet/tata surya dan pergerakannya serta jiwanya, membahas penggerak pertama dan sifat-sifatnya kemudian membahas tentang jiwa, dan di situ tidak ada bahasan yang menghina filsafat seperti pada kitab At Tahafut. Dia mengemukakan dalil-dalil selayaknya seorang khukama’ bukan seorang ahli kalam, dan menetapkan dalil-dalil aqli tentang ketuhanan. Di akhir risalah ini al-Ghazali mengharamkan untuk menerbitkannya (risalah ini) kecuali untuk ahli/orang yang jiwanya memadai dan akalnya salimah, sesuai dengan hadits Nabi: ”ﺍﻮﺒﻃﺎﺧ
    ﺱﺎّﻨﻟﺍﻰﻠﻋﺭﺪﻗ
    ﻢﻬﻟﻮﻘﻋ.“ .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan di tunggu komentarnya demi memperbaiki blog ini!!!